| 2 komentar ]



Ingke, di Bali tentulah sudah tidak asing lagi. Ingke adalah nampan atau juga piring yang terbuat dari anyaman lidi daun kelapa. Pada mulanya, ingke dipergunakan sebagai tempat sesajen oleh ibu-ibu di Bali, di samping sebagai perabotan rumah tangga sebagai tempat berbagai macam makanan atau jajanan, buah-buahan dan bumbu dapur.

Di jaman modern ini, ingke menjadi perabotan yang memiliki nilai unik bahkan mewah. Apalagi di kalangan rumah tangga di perkotaan, ingke justru mendapat tempat istimewa di antara perabotan rumah tangga lainnya. Menyuguhkan makanan dan buah-buahan dengan ingke akan terkesan sangat eksklusif. Di samping itu, pada acara-acara resepsi dan pesta, baik yang diselenggarakan suatu instansi pemerintah, suasta maupun rumah tangga, ingke adalah pilihan utama sebagai penggati piring.

Dengan perkembangan seperti itu, maka ingke saat ini telah menjadi salah satu komoditi ekonomi dari sektor kerajinan. Ingke dapat dikatakan sudah menjadi produk industri rumah tangga yang mampu menghasilkan pendapatan signifikan bagi para pengerajinnya.

Di Desa Candikusuma, cukup banyak warga masyarakat yang menekuni kerajinan pembuatan ingke. Produk ingke yang dihasilkan telah lama menembus pemasaran secara luas, tidak saja di Bali namun sudah dikenal di beberapa kota di Jawa. Banyak warga masyarakat dari Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta yang kebetulan sedang ke Jembrana menyempatkan diri ke rumah-rumah warga pengerajin ingke untuk membelinya satu hingga dua lusin.

Salah satu keluarga pengerajin ingke yang sudah dikenal secara luas adalah keluarga besar I Ketut Lana di Dusun Moding Kaja. Di samping bertani sebagai mata pencaharian utama, membuat ingke bagi keluarga ini telah terbuki bisa menopang pendapatan ekonomi keluarga. “Membuat ingke sudah menjadi tradisi di keluarga besar kami sejak dulu. Penghasilannya lumayan untuk tambahan memenuhi kebutuhan keluarga,” demikian Ketut Lana yang ditemui saat membantu istrinya membersihkan lidi-lidi bahan ingke.

Untuk pemasarannya, kini mereka tidak perlu repot lagi karena sudah dibantu pihak Dinas Perindustrian Kabupaten Jembrana. “Petugas dari Dinas Perindustrian secara rutin membantu pemasaran ingke buatan kami sehingga bisa menembus pasar ke Denpasar,” jelas Ibu Sayu istri Ketut Lana.

Menurut Ibu Sayu, harga satu lusin ingke kecil (seukuran piring makan) saat ini Rp. 25.000. Dalam sehari dia mampu menyelesaikan satu lusin ingke siap jual. “Kalau hanya menganyamnya, itu tidak lama. Sehari kita bisa menyelesaikan beberapa lusin ingke. Tapi prosesnya kan tidak hanya menganyam lidi. Kita juga harus keliling mencari lidi, lalu membersihkannya. Mengumpulkan lidi ini yang lama. Jadi kalau dirata-ratakan, dalam sehari kita bisa menghasilkan ingke siap jual hanya satu sampai dua lusin saja,” demikian Ibu Sayu yang ditemui sedang menganyam ingke bersama menantu, ipar dan keponakannya.

Kegiatan yang ditekuni keluarga Ketut Lana ini toh tidak sebatas untuk keluarga mereka saja. Belakangan mereka mampu memberi imbas positif kepada para tetangga sekitarnya. Kini telah banyak tetangganya, terutama para ibu rumah tangga, yang mengikuti jejak mereka. Ingke-ingke yang telah selesai dianyam, dikumpulkan lalu dipasarkan secara bersama. Inilah salah satu potensi ekonomi kerakyatan yang ada di Desa Candikusuma yang sampai sekarang tetap produktif.

2 komentar

Gonzales mengatakan... @ 20 Mei 2010 pukul 23.36

harus terus dibina trutama dari sisi pemasaran dan permodalan pastinya, dan kolo boleh cara pembuatannya di upload juga

Unknown mengatakan... @ 27 Oktober 2013 pukul 18.31

Boleh mnt alamat n no telp utk pemesananan ingke nya?

Posting Komentar